Pemerhati Desa: Penyaluran 20% Dana Desa ke BUMDes Picu Keresahan Aparatur Desa

0

POJOKKATA.COM, Magetan – Kebijakan penyaluran 20 persen Dana Desa (DD) ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menuai protes dari sejumlah aparatur desa. Pasalnya, alokasi dana yang totalnya mencapai Rp 40 miliar tersebut dinilai dipaksakan tanpa mempertimbangkan kesiapan legalitas dan tata kelola BUMDes di masing-masing desa.

Pemerhati desa, Dimyati Dahlan, menyebutkan banyak perangkat desa merasa kebijakan ini menimbulkan keresahan. Terlebih saat ini pemerintah justru sedang menggencarkan penguatan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di berbagai level—lokal, regional, hingga nasional.

“Ini membingungkan. Di satu sisi koperasi sedang dikuatkan, tapi penyaluran dana justru dibelokkan ke BUMDes. Banyak BUMDes belum siap, belum punya legalitas, struktur pengelolaan pun belum jelas,” ujarnya, Senin (9/6), melalui sambungan telepon.

Dimyati menyebut, intervensi dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam pengambilan keputusan ini sangat terasa. Ia menilai pemaksaan penyaluran ke BUMDes berisiko menimbulkan masalah hukum. “Bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan. Ujung-ujungnya kades dan perangkat yang jadi korban, padahal mereka cuma menjalankan perintah,” tegasnya.

Menurut Keputusan Menteri Desa PDTT Nomor 3 Tahun 2025, dana 20 persen untuk ketahanan pangan sebenarnya bisa disalurkan melalui tiga jalur: BUMDes/BUMDesma, Koperasi Desa, atau Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Namun, keputusan akhir seharusnya ditentukan melalui Musyawarah Desa Khusus (Musdesus), bukan ditentukan camat atau OPD.

“Kalau BUMDes belum ada atau tidak layak, ya jangan dipaksakan. Desa punya hak menentukan sendiri lewat Musdesus. Pemerintah daerah harus menghormati itu,” jelas Dimyati.

Yang semakin membuat aparatur desa resah, lanjutnya, adalah ancaman sanksi jika tidak mengikuti arahan tersebut. “Kades bisa kehilangan insentif Rp 1 juta per bulan, perangkat desa bisa kehilangan Rp 400 ribu sampai Rp 800 ribu. Mereka jadi serba salah,” ungkapnya.

Ia juga menyinggung adanya Surat Menteri Desa Nomor 6 Tahun 2025 yang memberi ruang kepada desa untuk menyalurkan dana sebagai penyertaan modal awal ke KDMP. “Ini lebih aman secara hukum. KDMP program strategis nasional, malah bisa dapat insentif tambahan dari pemerintah pusat,” ucapnya.

Namun, jika desa tidak mendukung pembentukan koperasi, ada risiko DD tahap II tertunda atau dipangkas. “Kalau BUMDes belum punya rekening, belum punya legalitas, lalu dana mau disalurkan lewat apa? Ini kan rawan,” tuturnya.

Dimyati mengapresiasi langkah sejumlah pimpinan DPRD dari kabupaten lain yang mulai turun tangan. “Mereka mulai konsultasi ke Kementerian Keuangan, minta legal opinion dari akademisi seperti UNS dan Unibraw, juga dari kejaksaan. Ini langkah tepat untuk cari solusi yang aman,” katanya.

Ia menegaskan, semua pihak—baik OPD, DPRD, maupun pemerintah pusat—perlu memberi ruang bagi desa untuk menentukan sendiri penyaluran dana sesuai kondisi di lapangan.

“Aparatur desa yang paling tahu risiko dan kesiapan di wilayahnya. Kalau dipaksakan dari atas, bukan solusi, malah nambah beban. Biarkan Musdesus yang tentukan, itu sah dan diatur dalam regulasi,” tandasnya. (Gal/PK)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini