POJOKKATA.COM, Madiun – Polemik penyaluran Dana Desa (DD) 20 persen untuk program ketahanan pangan ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang belum memiliki legalitas resmi kembali mencuat. Praktik tersebut dinilai membahayakan dan berpotensi menjerumuskan aparat desa ke jeratan hukum pidana.
Hal itu disampaikan oleh pengamat kebijakan publik, Dimyati, saat ditemui di Madiun, Selasa (17/6).
Menurutnya, penyaluran dana negara, termasuk Dana Desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ke BUMDes yang belum memiliki status hukum sah seperti Badan Hukum dan Nomor Induk Berusaha (NIB) merupakan pelanggaran serius.
“BUMDes yang belum punya legalitas, baik dalam bentuk badan hukum maupun NIB, tidak bisa menerima penyertaan modal dari negara. Itu sama saja menyalurkan keuangan negara ke usaha ilegal, dan bisa dikategorikan sebagai tindak kejahatan,” tegas Dimyati.
Ia menambahkan bahwa legalitas usaha menjadi syarat mutlak bagi BUMDes agar bisa diakui secara resmi dan mengakses berbagai dukungan dari pemerintah. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021, semua pelaku usaha termasuk BUMDes diwajibkan memiliki NIB untuk menjalankan kegiatan secara legal.
Kerugian Ditanggung Pribadi
Lebih lanjut, Dimyati menyoroti potensi kerugian negara jika penyaluran modal tetap dipaksakan tanpa legalitas. Berdasarkan PP 11 Tahun 2021 tentang BUMDes, jika audit menemukan kerugian, maka pengurus BUMDes — termasuk penasihat, pelaksana operasional, dan pengawas — bisa diminta pertanggungjawaban secara pribadi.
“Kalau tidak ada iktikad baik dalam menyelesaikan kerugian, proses hukumnya bisa jalan. Jangan sampai yang disalahkan hanya kades, sementara camat dan dinas yang memberi tekanan malah lepas tangan,” kritiknya.
Ia menyebutkan bahwa potensi nilai penyertaan modal yang tidak tepat sasaran ini bisa mencapai Rp40 miliar jika dikalkulasi di berbagai desa, sehingga risiko pelanggaran hukum tidak bisa dianggap remeh.
Peringatan untuk Pendamping Desa
Tak hanya menyasar pemerintah desa, Dimyati juga menyoroti peran pendamping desa yang dinilai kerap memberi informasi setengah-setengah.
“Pendamping harus memberikan penjelasan secara utuh, tidak sepotong-potong. Jika menyarankan ke BUMDes, maka harus disertai dasar hukumnya dan syarat lengkapnya. Jangan malah menyesatkan desa yang awam hukum,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa dalam Permendes Nomor 3 Tahun 2025, penyaluran dana ketahanan pangan bisa ke BUMDes, koperasi, atau TPK khusus — dengan syarat-syarat yang berbeda. Semua itu harus dipahami dengan utuh oleh pendamping maupun pemerintah desa.
Berpotensi Langgar UU Tipikor
Dimyati juga mengingatkan bahwa jika ada unsur penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara, maka praktik tersebut bisa menjerat pelaku dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
“Kalau ada pihak yang mengintimidasi atau memaksa desa menyalurkan dana tanpa legalitas, lalu menguntungkan pihak tertentu, itu sudah memenuhi unsur pidana korupsi. Bisa kena pasal, pidana penjara sampai 20 tahun dan denda miliaran rupiah,” tandasnya.
Sebagai penutup, Dimyati menekankan pentingnya kehati-hatian dalam penggunaan Dana Desa. Ia mengajak semua pihak untuk memastikan legalitas BUMDes dan kesesuaian kegiatan usaha dengan program ketahanan pangan sebelum penyaluran modal dilakukan. (*/PK)