Rudi (Kang Rugos), Aktivis Magetan.
2 Juli 2025, Di Dukuh Kanthong Bolong, Warung Krikit milik Kang Brodin ramai malam ini. Lampu teplok berkedip-kedip, menyinari wajah-wajah warga yang asyik mengobrol. Topik hangat kali ini: peringatan Hari Bhayangkara ke-79 di Alun-alun Dukuh Kanthong Bolong yang khidmat, tapi memicu kegaduhan di kalangan wartawan lokal.
Kabarnya, Polres Dukuh Kanthong Bolong memberikan penghargaan
kepada dua media nasional dan satu akun media sosial sebagai “media partner terbaik,” sementara media lokal merasa disisihkan.
Brodin, sang pemilik warung, duduk di kursi bambu sambil mengaduk kopi. Dengan nada penuh analisa, ia membuka diskusi. “Dinamika hidup ini lucu, rek. Polres ngadain Hari Bhayangkara, tapi kok
wartawan lokal cuma jadi penutup? Penghargaan buat media nasional sama akun medsos, media lokal cuma dikasih terima kasih di grup WA. Ini sinergi apa ekslusivitas?”
Sukma, aktivis LSM Sukar Maju yang selalu bawa buku catatan tapi tak pernah tahu isinya, langsung nyamber. “Ini pasti konspirasi kapitalis! Media nasional kan punya duit, makanya dipilih. Kita harus
bikin petisi, minta Polres adil! Tapi… petisi itu dikirim ke mana, ya?” Sukma menggaruk kepala, lupa apa tugas LSM-nya.
Polkah, si pemulung yang selalu pesimis, menyela sambil membenarkan karung di pundaknya. “Di Eropa, polisi sama media lokal akrab, loh! Di sini? Media lokal cuma dilupain. Kalau mau, saya kenalin ke makelar kasus, biar isu ini naik ke medsos besar!” Ia terkekeh sinis, lalu menambahkan, “Desa ini nggak bakal maju kalau begini caranya.”
Puyeh, wartawan Pecah Kongsi Post, sibuk mengetik di ponselnya yang layarnya retak. “Ini headline bagus: Media Lokal Tersisih, Polres Mesra Medsos! Tapi, ada yang mau pasang iklan nggak? Saya butuh dana buat kertas. Oh ya, katanya Polres cuma akrab sama akun medsos besar, tapi saya nggak tahu bener apa nggak, pokoknya tulis dulu!” Beritanya, seperti biasa, bakal bikin pembaca bingung antara fakta dan promosi.
Somad, modin yang buta huruf tapi bijak, mengangguk pelan sambil memutar tasbih. “Dalam hadis dikatakan, idza wuliyatil amru ghoiru ahliha fantadzirissa’ah—kalau urusan diserahkan bukan pada ahlinya, tunggu kehancuran. Media lokal itu ahli bikin berita yang bener, kenapa disisihkan? Solusinya, ajak Polres ke masjid, ngobrol dari hati ke hati, biar sinergi lagi.” Warga tersenyum, tahu Somad serius meski idenya polos.
Sastro Ubed, ahli adat yang analisisnya selalu melenceng, ikut nimbrung dengan semangat. “Ini
gara-gara kita lupa tradisi! Dulu, polisi sama wartawan lokal wajib ngopi bareng sebelum acara besar. Sekarang? Polres cuma ngopi sama medsos! Saya usul, kita adain ritual ngopi bareng biar harmoni.” Warga cuma geleng-geleng, tahu ide Sastro selalu ngawur.
Jamal, hansip desa yang sok intelek, menepuk meja dengan buku catatannya. “Ini pelanggaran UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 3 ayat 1! Rakyat berhak tahu kenapa media lokal disisihkan! Kalau nggak transparan, saya laporkan ke Pak Camat, minimal ke ketua RT!” Jamal menyisir rambutnya yang disemir, berpose ala detektif.
Obrolan semakin riuh, sampai Brodin berdiri dan memotong. “Cukup, rek! Kalian ini kayak radio rusak, berisik tapi nggak jelas. Dinamika hidup itu butuh aksi, bukan cuma ngomel! Sukma, pelajari dulu tugas LSM, bikin proposal buat dialog sama Polres. Polkah, stop provokasi, ajak warga bikin forum diskusi. Puyeh, tulis berita yang jelas, jangan cuma cari iklan. Somad, teruskan nasihat bijakmu di masjid. Sastro, belajar adat yang bener sebelum kasih saran. Jamal, awasi desa, tapi jangan cuma gaya-gayaan. Gerak sekarang, sesuai kapasitas kalian!”
Warga terdiam, lalu bubar dengan semangat baru. Warung Krikit kembali sepi, hanya suara jangkrik mengisi malam. Namun….. paling tidak warga sudah berani bermimpi kelak bisa hidup bahagia di Dukuh Kanthong Bolong.
Cerita ini tentang renggangnya hubungan antara institusi publik seperti Polres dan media lokal, yang seharusnya menjadi mitra dalam membangun transparansi dan kebenaran. Media sosial, meski cepat, tak bisa menggantikan peran media massa yang punya tanggung jawab etik dan struktur. UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14/2008) menegaskan hak rakyat untuk tahu, termasuk soal kebijakan institusi publik yang harus transparan. Kritik membangun dari cerita ini adalah pentingnya sinergi pentahelix—pemerintah, media, dan elemen masyarakat—untuk pembangunan daerah yang lebih baik, serta perlunya institusi publik membuka komunikasi yang adil dan konstruktif dengan media lokal. Xi xi xi
Catatan: Semua karakter dan cerita dalam Warung Kita adalah fiktif. Kesamaan dengan kenyataan adalah kebetulan semata.