Krisis Komunikasi Politik di Daerah: Belajar Dari Kasus Kabupaten Pati

0

Oleh: Sutikno, Ketua DPD BM PAN Magetan.

Protes massal yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada 13 Agustus 2025 kemarin menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah lain di Indonesia. Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) yang mendadak dan drastis hingga 250 persen memantik gelombang penolakan masyarakat.

Lebih dari sekadar persoalan angka, yang dipersoalkan publik adalah cara komunikasi pemerintah. Pemerintah Kabupaten Pati seolah abai terhadap satu aspek mendasar dalam demokrasi: komunikasi politik yang jujur, transparan, dan partisipatif.

Janji kampanye Bupati terpilih yang
menolak kenaikan PBB, ternyata hanya setahun kemudian dilanggar melalui kebijakan yang sangat kontradiktif. Publik merasa dikhianati. Ketika jalur dialog tertutup, jalanan pun menjadi saluran aspirasi.

Kebijakan Tanpa Narasi

Dalam kebijakan publik, bukan hanya konten kebijakan yang penting, tetapi juga narasi dan proses komunikasinya. Kebijakan yang baik pun akan ditolak jika proses perumusannya tidak
inklusif dan komunikasinya buruk.

Pemerintah daerah tidak cukup hanya menyampaikan data atau peraturan. Diperlukan komunikasi yang memadukan logika, empati, dan pelibatan masyarakat. Sayangnya, dalam kasus Pati, pemerintah gagal menjelaskan secara terbuka: mengapa kebijakan itu mendesak, siapa yang terdampak, dan bagaimana solusi untuk warga kecil?

Masyarakat tidak mendapatkan konteks. Tidak ada komunikasi antisipatif. Tidak ada uji publik. Bahkan, fungsi-fungsi komunikasi kelembagaan seperti humas pemerintah dan DPRD daerah pun
nyaris tidak terdengar. Akibatnya, muncul kesan bahwa kebijakan ini elitis dan tidak peka terhadap kondisi sosial-ekonomi warga.

Komunikasi Adalah Kebijakan Itu Sendiri

Protes publik yang terjadi adalah bentuk dari malfungsi komunikasi politik bukan sekadar penolakan substansi kebijakan. Hal yang juga penting adalah konsistensi antara janji politik dan implementasi kebijakan. Ketika pemimpin daerah tidak menepati janjinya apalagi tanpa penjelasan yang masuk akal, kepercayaan publik akan terkikis. Pada titik tertentu, bukan hanya kebijakan yang ditolak, tapi juga legitimasi
pemerintahannya.

Refleksi untuk Pemerintah Daerah

Kasus Pati bukanlah satu-satunya. Namun, ini menjadi pelajaran penting bahwa komunikasi politik bukan sekadar pelengkap kebijakan. Ia adalah bagian inti dari proses kebijakan publik yang sehat. Pemerintah daerah harus memikirkan ulang bagaimana mereka berkomunikasi dengan warganya.

Beberapa hal perlu diperhatikan:

  1. Sampaikan kebijakan secara terbuka sejak awal, bukan setelah masyarakat bereaksi.
  2. Pelibatan warga melalui forum dialog, sosialisasi, dan konsultasi publik adalah
    keharusan, bukan pilihan.
  3. Fungsi humas dan DPRD sebagai penghubung komunikasi publik harus diperkuat, bukan dikesampingkan.
  4. Buat narasi yang membumi dan mudah dipahami bukan sekadar menyajikan angka, tetapi juga menjawab “mengapa” dan “bagaimana”.

Rekomendasi utama adalah membangun pendekatan komunikasi publik yang empatik, partisipatif, dan terstruktur, sehingga setiap kebijakan tidak hanya legal secara prosedural, tetapi juga legitim secara sosial. Kita tidak bisa terus-menerus membenahi kebijakan hanya setelah muncul krisis. Komunikasi politik yang baik justru mencegah krisis itu datang.

Di era keterbukaan informasi dan partisipasi publik, pemerintah terutama di tingkat lokal tidak punya pilihan selain menjadikan komunikasi sebagai bagian utama dari kepemimpinan yang demokratis dan berempati.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini