Pranotocoro Muda Bangkitkan Bahasa Jawa di Magetan

0

POJOKKATA.COM, Magetan – Suara gamelan mengalun lembut saat Pasinaon Pranotocoro Adat Jawa versi 2 resmi dibuka di Aula Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Magetan. Di ruangan itu, puluhan peserta tampak serius menyimak wejangan para pengajar. Mereka bukan sekadar belajar menjadi pembawa acara adat atau pranotocoro, tapi juga menyelami makna luhur di balik bahasa dan tata krama Jawa.

Ketua Paguyuban Pranotocoro Kabupaten Magetan, Setiyo Nuhari, menjelaskan bahwa kegiatan ini lahir dari inisiatif masyarakat yang ingin melestarikan adat dan bahasa Jawa.

“Pasinaon ini sudah masuk angkatan kedua. Karena minatnya tinggi, kami buka kelas baru tapi dengan peserta terbatas agar proses belajar tetap efektif,” ungkapnya, Jumat (18/10/2025).

Jika pada angkatan pertama hanya diikuti 35 peserta, kali ini jumlahnya melonjak menjadi 60 orang.

“Sebenarnya pendaftar lebih banyak, tapi kami batasi. Belajar pranotocoro itu perlu fokus, tidak bisa sekadar ikut,” tambah Setiyo.

Program belajar ini berlangsung selama lima bulan. Empat bulan untuk kegiatan belajar-mengajar, dan satu bulan untuk persiapan wisuda. Setiap Jumat dan Sabtu sore, Aula Disbudpar Magetan berubah menjadi ruang pelestarian bahasa dan budaya Jawa.

“Peserta kami ajarkan bukan hanya teknik membawakan acara adat, tapi juga bahasa Jawa rinenggo — bahasa halus dan indah yang biasa digunakan dalam upacara adat,” jelas Setiyo.

Menurutnya, profesi pranotocoro kini semakin dibutuhkan. “Mulai dari tingkat RT, RW, desa, hingga instansi, semua butuh pranotocoro yang paham unggah-ungguh. Acara seperti mantenan, khitanan, hingga tasyakuran tak lepas dari pranotocoro,” ujarnya.

Di angkatan kedua ini, materi pelajaran juga makin lengkap. Selain dasar-dasar pranotocoro, peserta diajarkan tanggapacara dan pambagyo.

“Bahasa rinenggo itu seperti sastra lisan. Kami ajarkan sambutan pasrah manten, pambagyo, dan penerimaan tamu adat. Banyak yang belum bisa melakukannya dengan benar,” terang Setiyo.

Bagi Gozali, peserta asal Madiun, pelatihan ini lebih dari sekadar belajar menjadi MC. “Saya ingin bisa berbahasa Jawa dengan baik, supaya lebih dekat dengan masyarakat. Kalau penyuluhan disampaikan dengan bahasa Jawa, orang lebih mudah paham,” katanya.

Ia menilai belajar pranotocoro adalah bentuk cinta terhadap budaya sendiri. “Ini bukan cuma soal berbicara, tapi juga soal menjaga unggah-ungguh dan nilai-nilai luhur Jawa,” tambahnya.

Senada dengan itu, Agus — seniman muda asal Magetan — mengaku tertarik karena keindahan bahasa Jawa yang sarat makna. “Bahasanya seperti puisi. Banyak kiasan dan ungkapan indah yang membius. Dari pasinaon ini, saya ingin belajar cara menyampaikan bahasa Jawa yang estetis,” ujarnya.

Kepala Disbudpar Magetan, Joko Trihono, mengatakan keberadaan pranotocoro muda menjadi angin segar bagi pelestarian adat. “Adat Jawa itu kompleks. Ada sambutan, penyerahan, penerimaan, dan sebagainya. Semua butuh penguasaan bahasa halus dan pemahaman makna di baliknya,” jelasnya.

Menurut Joko, potensi lulusan pranotocoro di Magetan cukup besar. “Dengan sekitar 350 ribu penduduk dewasa dan ribuan acara adat tiap tahun, kebutuhan MC berbahasa Jawa sangat tinggi,” ujarnya.

Kini, Magetan bukan hanya dikenal karena udara sejuknya di kaki Gunung Lawu, tapi juga karena semangatnya menjaga bahasa dan budaya Jawa lewat para pranotocoro muda. Dari tangan mereka, bahasa rinenggo bukan sekadar peninggalan leluhur — tapi jati diri yang terus dihidupkan dengan rasa dan tata krama. (Gal/PK)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini