Oleh : Tanti Wijaya, Andina Endartika Sari, Helda Rivatul Mahmuddah, dan Qonita Mashna’ul Azizah, ketiganya merupakan Mahasiswa S2 Manajemen Unmuh Ponorogo.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi rekrutmen digital, job fair masih menjadi magnet bagi pencari kerja. Gelaran job fair di Jawa Timur dan Ponorogo yang kembali dipadati ribuan peserta menunjukkan bahwa kehadiran acara seperti ini belum tergantikan.
Meski aplikasi pencarian kerja semakin canggih, banyak pencari kerja—terutama generasi muda—tetap memilih bertemu langsung dengan perusahaan untuk memastikan peluang yang lebih nyata. Fenomena ini menegaskan bahwa job fair masih memainkan peran penting dalam ekosistem ketenagakerjaan modern.
Salah satu alasan kuat bagi para pencari kerja mengapa job fair tetap relevan adalah nilai interaksi langsung yang tidak bisa disamakan dengan proses daring. Bertatap muka dengan perekrut memberikan kesempatan bagi pencari kerja untuk membangun kesan personal, bertanya langsung soal budaya perusahaan, hingga menyampaikan kemampuan diri secara lebih meyakinkan.
Begitu juga dari sisi perusahaan pemberi kerja, job fair adalah momentum baik yang dimanfaatkan untuk dapat menyeleksi ratusan kandidat pencari kerja dalam satu acara, hal ini sangat menguntungkan karena menghemat waktu dan biaya.
Tidak jarang, perusahaan memanfaatkan momentum tersebut untuk melakukan screaning cepat, wawancara singkat, dan membangun database kandidat bahkan hingga tes keterampilan di tempat, sehingga ada interaksi secara langsung antara pencari kerja dan perusahaan yang memungkinkan kedua belah pihak saling mengetahui tren kompetensinya dan aspirasinya masing-masing.
Job fair merupakan laboratorium nyata bagi fungsi rekrutmen perusahaan, dimana perusahaan dapat menjadikan booth perusahaan berfungsi sebagai “etalase” budaya kerja, nilai dan citra organisasi yang bisa membangun citra positif di mata pencari kerja, terutama Gen Z dan milenial. Hal ini menjadikan job fair semacam laboratorium rekrutmen, dimana perusahaan bisa menguji efektivitas strategi seleksi dalam kondisi nyata, sehingga bisa dilakukan observasi secara empiris terhadap pasar tenaga kerja.
Di Provinsi Jawa Timur, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menjadi 3,88 persen pada Agustus 2025.
Pemerintah provinsi pun terus menguatkan strategi penyerapan tenaga kerja melalui gelaran Job Fair Inklusif 2025 dengan tema “Merdeka Berkarir : Find Your Bright Future” yang digelar di Dyandra Convention Center Surabaya pada 30 September – 1 Oktober 2025 yang melibatkan 5.589 lowongan dari 67 perusahaan. Angka ini menjadi bukti bahwa job fair bukan hanya seremonial, tetapi upaya konkret pemerintah daerah dalam mempercepat matching antara pencari kerja dan perusahaan. Job fair menjadi instrumen kebijakan ketenagakerjaan yang multifungsi untuk memperluas akses kerja, menekan pengangguran dan memetakan kebutuhan tenaga kerja secara inklusif.
Selain itu job fair telah menjadi etalase komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam membangun SDM berkualitas dan Branding daerah untuk menunjukkan Jawa Timur sebagai daerah yang menarik bagi investasi dan pengembangan tenaga kerja
Di Kabupaten Ponorogo, antusiasme pencari kerja tidak kalah tinggi, hal ini menunjukkan kebutuhan besar akan akses kerja.
Job Fair Ponorogo 2025 yang digelar di Graha Watoe Dhakon UIN Ponorogo pada tanggal 5-6 November 2025 menghadirkan 43 perusahaan dengan lebih dari 5.600 lowongan termasuk peluang kerja dari perusahaan nasional dan lokal, berhasil menarik antusiasme ribuan pencari kerja dari berbagai latar belakang, mulai dari fresh graduate hingga pekerja berpengalaman.
Sebanyak 18 perusahaan bahkan langsung menggelar wawancara singkat di lokasi.
Pemerintah daerah menargetkan angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) bisa ditekan hingga 3 persen, menjadikan job fair sebagai bagian penting dalam strategi ekonomi lokal.
Hal ini adalah sebagian dari PR besar Pemerintah sebagai regulator harus bisa menjadikan Job Fair sebagai forum sinkronisasi antara semua elemen, antara kampus, lembaga pelatihan dan dunia usaha.
Pemerintah harus memastikan job fair benar-benar menghasilkan penempatan kerja, bukan sekedar formalitas, pembuatan sistem tracking pasca job fair membantu pemerintah memantau berapa persen peserta yang berhasil ditempatkan, tantangan lainnya adalah menyaring perusahaan peserta job fair yang menyediakan lowongan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan kompetensi lulusan bukan sekedar penawaran posisi entry-level atau kontrak jangka pendek, hal ini bisa dilakukan dengan menetapkan standar partisipasi perusahaan, misalnya komitmen rekrutmen dan status hubungan kerja yang ditawarkan.
Namun demikian, job fair juga perlu dievaluasi agar lebih efektif. Salah satunya adalah transparansi hasil, berapa banyak peserta yang berhasil ditempatkan di perusahaan setelah job fair. Tanpa data tindak lanjut, sulit menilai sejauh mana job fair memberikan dampak nyata.
Selain itu, penyelenggara perlu memastikan agar informasi yang diberikan perusahaan lebih komprehensif dan relevan dengan kebutuhan generasi muda yang semakin selektif.
Terlepas dari tantangan tersebut, job fair tetap menjadi ruang penting bagi pencari kerja untuk membangun jaringan, memahami industri, dan meningkatkan kepercayaan diri. Di tengah dunia kerja yang semakin digital, interaksi langsung ternyata masih memiliki nilai strategis.
Job fair tidak hanya menjadi tempat berburu pekerjaan, tetapi juga ruang bertemu harapan dan kesempatan. Job fair akan efektif bila regulator tidak hanya menjadi penyelenggara, tetapi juga pengarah strategi ketenagakerjaan nasional.
PR besar pemerintah adalah menjadikan job fair sebagai alat nyata penempatan kerja, pemetaan tenaga kerja, dan sinkronisasi pendidikan dengan industri, bukan sekedar menjadi acara tahunan saja Namun selama angka pengangguran masih maka job fair menjadi PR pemerintah dan akan tetap hadir sebagai salah satu solusi yang paling nyata.



