POJOKKATA.COM, Magetan – Kabar duka datang dari dunia pendakian Indonesia. Mbok Yem, perempuan penjaga warung legendaris di puncak Gunung Lawu, meninggal dunia pada Rabu (23/4) siang di kediamannya, Dusun Dagung, Desa Gonggang, Kecamatan Poncol, Magetan.
Kepergian sosok inspiratif ini meninggalkan luka mendalam bagi komunitas pendaki yang telah lama mengenalnya.
Mbok Yem sebelumnya sempat dirawat di RSU Siti Aisyiyah, Ponorogo, akibat pneumonia akut yang menyerang saluran pernapasannya.
Mbok Yem, yang nama aslinya adalah Wakiyem, bukanlah sosok biasa. Ia dikenal luas oleh ribuan pendaki Gunung Lawu yang menapaki jalur Cemoro Sewu maupun Cemoro Kandang. Sejak tahun 1980-an, Mbok Yem setia menjaga warung miliknya yang berada di Hargo Dumilah, sekitar 3.150 meter di atas permukaan laut, hanya 115 meter di bawah puncak Gunung Lawu.
Warungnya yang terletak di titik tertinggi ini pun menjadi yang pertama dan satu-satunya di Indonesia.
Bagi para pendaki, kehadiran Mbok Yem bukan sekadar seorang pemilik warung. Ia adalah simbol semangat yang tak pernah padam, pendamping setia yang memberikan semangat terakhir menjelang puncak, serta penyedia kehangatan dalam bentuk makanan dan minuman di tengah suhu dingin yang menggigit.
Banyak pendaki yang mengenang Mbok Yem sebagai sosok yang ramah, tegar, dan tak kenal lelah meski cuaca ekstrem menyelimuti.
Mbok Yem juga dikenal karena kesetiaannya dalam membantu pendaki yang kelelahan, tersesat, bahkan yang sakit. Ia selalu berada di sana, siap membantu meski dalam kondisi apapun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi banyak orang, namun kenangannya akan terus hidup di setiap langkah pendaki yang menapaki jalan menuju Lawu.
Sosok Mbok Yem juga selalu dikenang dalam cerita-cerita yang dibagikan di tenda-tenda pendaki, api unggun, dan ruang-ruang diskusi para pecinta alam.
Ia tak hanya seorang penjaga warung, melainkan telah menjadi bagian dari jiwa Gunung Lawu yang akan dikenang sepanjang masa.
Warung sederhana Mbok Yem yang menyediakan nasi pecel legendaris menjadi titik hidup di jalur pendakian yang sunyi.
Pada masa-masa tertentu, warung ini bisa melayani hingga ratusan pendaki dalam sehari. Angka ini bahkan meningkat tajam pada bulan Agustus dan Suro, saat pendakian mencapai puncaknya.
Hingga usia 70 tahun, Mbok Yem tetap bertahan di puncak. Satu-satunya waktu ia turun gunung adalah saat Lebaran. Meskipun warungnya mungkin akan terus berdiri, kehangatan dan semangat yang dibawa oleh Mbok Yem tak akan pernah tergantikan. (*)