Sindiran Beli Hutan oleh Netizen, Suara “Keputusasaan” Rakyat

0

POJOKKATA.COM, Jakarta – Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara menyisakan duka yang sulit dilupakan. Lebih dari 900 orang dilaporkan meninggal, sementara sekitar 300 lainnya masih belum ditemukan. Kerugian materi pun membengkak, diperkirakan mencapai puluhan triliun. Belum termasuk biaya evakuasi dan rekonstruksi yang bisa menembus ratusan triliun.

Di balik rangkaian musibah itu, Riyono Caping, anggota Komisi IV DPR dari FPKS, menilai akar persoalan terletak pada rusaknya ekosistem hutan.

Ia menyebut kawasan hutan kini jauh dari fungsi pelindungnya.

“Kerusakan hutan sudah sangat parah. Lahan yang dulu menjadi benteng ekologis kini seperti lapangan yang bisa dipermainkan siapa saja. Hutan berubah dari pelindung manusia menjadi monster yang mematikan,” ungkap Riyono.

Di tengah situasi tersebut, jagat maya ramai dengan sindiran berbentuk “aksi beli hutan”. Sejumlah netizen menyerukan patungan membeli kawasan hutan sebagai bentuk protes terhadap pengelolaannya.

Fenomena itu, kata Riyono, mencerminkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemangku kepentingan lingkungan.

“Itu simbol ketidakpercayaan publik. Seolah rakyat ingin bilang: kalau tak bisa dijaga, biar kami saja yang mengurus,” ujarnya.

Riyono menegaskan bahwa pembelian hutan bukan sekadar wacana viral. Secara hukum, mekanismenya memang ada.

Ia merinci tiga regulasi yang mengatur proses tersebut, mulai Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan, PP 24/2010 tentang hak dan kewajiban dalam bidang kehutanan, hingga Permen LHK 83/2016 tentang pedoman harga jual kawasan hutan.

Prosedur pembelian pun tak sederhana. Pembeli wajib mengantongi Izin Penggunaan Kawasan Hutan (IPKH), mengikuti penilaian tim ahli, hingga membayar harga jual kawasan hutan yang ditetapkan Menteri LHK. Penggunaan hutan juga dibatasi sesuai peruntukan, dan pemerintah tetap melakukan pengawasan ketat.

Dokumen yang harus disiapkan mulai dari surat permohonan IPKH, identitas pembeli, rencana penggunaan hutan, dokumen lingkungan, hingga persyaratan tambahan dari kementerian. Prosesnya panjang, birokratis, dan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.

“Ini bukan transaksi instan. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Justru karena rumit itu, aksi beli hutan oleh netizen harus dibaca sebagai alarm. Rakyat sudah lelah melihat kerusakan hutan yang berujung pada bencana sebesar ini,” kata Riyono.

Ia menutup pernyataannya dengan pesan keras kepada para pejabat terkait: bahwa kegaduhan di publik ini bukan sebatas guyonan dunia maya, melainkan ekspresi frustrasi kolektif.

“Aksi itu adalah tanda keputusasaan rakyat. Saat hutan rusak, bencana ekologis tak bisa dihindari. Ini waktunya pemerintah memperbaiki pengelolaan hutan secara serius,” tandasnya. (Gal/PK)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini