POJOKKATA.COM, Ponorogo – Di sebuah rumah sederhana di Jl. Pemuda, Desa Nambak, Kecamatan Bungkal, karya seni bernilai tinggi tengah lahir dari tangan Nano, pemilik Rumah Batik Fajar Batik.
Kain batik tulis berjudul Sesideman itu bukan sekadar kain, melainkan sebuah masterpiece yang mengandung legenda, filosofi, dan jiwa Ponorogo.
Dengan dominasi warna biru pudar dan motif burung merak, Sesideman lahir dari kisah Putri Sundul Langit. Sebuah legenda Ponorogo tentang seorang putri yang meminta tebusan sesuatu yang belum pernah ada sebelum akhirnya memilih pendamping hidupnya.
“Batik ini seperti burung, satu-satunya, tidak bisa ada duanya,” ucap Nano dengan mata berbinar.
Filosofi dan Proses Rumit
Nano menegaskan batik tersebut bukan untuk dipotong jadi baju. Motifnya bercerita dari ujung ke ujung kain, sehingga jika dipisahkan, makna akan hilang. Ukurannya 2,5 meter x 1,5 meter, lebih cocok dijadikan koleksi seni.
Keistimewaannya juga terletak pada proses panjang yang serba alami. Warna biru, cokelat tua, hijau, dan kuning diperoleh dari rebusan daun nila, daun bungur, hingga pohon nangka. Proses pencelupan memakan waktu hingga delapan jam per warna, bahkan detail bunga teratai butuh empat hari pengerjaan.
“Setiap malam saya kerjakan, karena detailnya sangat rumit,” kata Nano.
Motif bunga bungur dan teratai, dedaunan sawah, hingga burung merak menjadi ornamen utama. Nano selalu menyelipkan bunga bungur sebagai identitas Ponorogo.
“Merah itu khas Ponorogo. Di manapun, Ponorogo punya merahnya sendiri,” ujarnya.
Pernah Ditawar Rp13 Juta
Keindahan Sesideman membuat seorang kolektor Surabaya pernah menawarnya Rp13 juta. Namun Nano belum rela melepas. Kini ia memasang harga Rp15 juta untuk karya yang ia sebut sebagai persembahan cinta bagi tanah kelahirannya.
“Kalau dipakai sehari-hari, cepat hilang. Kalau jadi karya seni, ia bisa bertahan lebih lama,” tegasnya.
Masterpiece Berikutnya
Nano tak berhenti di situ. Ia sudah menyiapkan rancangan batik baru bertema pertarungan harimau dan burung merak. Karya itu ditargetkan rampung tahun depan, bertepatan dengan ulang tahun Kabupaten Ponorogo.
“Mudah-mudahan bisa jadi hadiah untuk kota ini,” harapnya.
Jaga Identitas Ponorogo
Di tengah gempuran industri tekstil modern, Nano memilih bertahan dengan batik tulis pewarna alami. Baginya, ini bukan sekadar pekerjaan, tapi pengabdian.
“Kalau tidak ada yang menjaga, siapa lagi? Batik ini warisan leluhur. Saya hanya berusaha menambahkan cerita baru agar Ponorogo punya identitas yang kuat,” ucapnya.
Dengan banderol Rp15 juta, nilai batik Sesideman jelas bukan hanya pada kain, tapi pada cerita, ketekunan, dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Sebuah bukti bahwa batik Ponorogo masih bernapas, hidup, dan bisa bicara melalui goresan tangan anak daerahnya. (*/PK)