Oleh : Muries Subiyantoro, Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi, dan Penggagas LoGoPoRI (Local Government and Political Research Institute) Magetan
Gegap gempita, hiruk-pikuk, dan beragam dinamika perhelatan Pemilu Serentak 2024 yang memilih Pasangan Capres-Cawapres, Calon Anggota DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota telah berakhir pada tanggal 14 Pebruari 2024 lalu. Hasil perolehan suara melalui saluran Quick Count dari berbagai lembaga survey di tanah air maupun Real Count yang terus di update oleh KPU RI telah kita ketahui bersama.
Perolehan sementara Pasangan Capres-Cawapres AMIN memperoleh suara di rentang antara 25-27%, Pasangan Prabowo-Gibran di rentang antara 56-58%, dan Pasangan Ganjar-Mahfud di rentang antara 16-19%. Sedangkan untuk perolehan partai politik, posisi 3 (tiga) besar untuk sementara diperoleh PDI Perjuangan di rentang antara 17-19%, Partai Golkar di rentang antara 12-13%, dan Partai Gerindra di rentang antara 12-13%.
Konstelasi perpolitikan pra pemungutan suara, ketika pemungutan suara, dan pasca pemungutan suara Pemilu 2024 menarik untuk dicermati. Mengapa dinamika politik tersebut perlu di analisis secara mendalam? Karena terdapat berbagai macam peristiwa-peristiwa politik yang mengiringi perjalanan Pemilu 2024 itu sendiri. Misalnya, pecah kongsinya antara Gerindra dan PKB menjelang penentuan pasangan Capres dan Cawapres, munculnya sosok Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres yang penuh “kontroversial” dengan keluarnya Putusan MK yang pada akhirnya melahirkan Putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), keluarnya Putusan DKPP terhadap perilaku/etika Ketua dan Anggota KPU RI atas pencalonan Gibran sebagai cawapres, penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) yang massif kepada masyarakat dalam beberapa minggu sebelum hari pencoblosan yang dilakukan oleh pemerintah bahkan oleh Presiden Jokowi sendiri secara langsung, dan berbagai peristiwa serta fakta sosial-politik lain yang membuat keprihatinan kita bersama akan masa depan demokrasi bangsa ini di masa mendatang.
Apapun yang terjadi, kenyataan saat ini “Presiden” hasil Quick Count sudah kita ketahui yakni Pasangan Prabowo-Gibran dan tinggal menunggu hasil rekapitulasi manual secara resmi dari KPU RI pada tanggal 20 Maret nanti, sekaligus menunggu apakah ada pengajuan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dari Paslon Nomor Urut 1 dan 2 ke MK atau tidak. Apabila tidak ada pengajuan PHPU, atau kalaupun ada PHPU tetapi putusannya nanti tidak akan membatalkan hasil perolehan suara, maka dipastikan Pasangan Prabowo-Gibran tinggal menunggu pelantikan sebagai Presiden RI dan Wakil Presiden RI pada bulan Oktober mendatang.
Penguatan Civil Society
Selama rentang waktu pasca pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 sampai dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI Oktober mendatang, tentunya akan banyak kejadian dan perisitiwa politik yang akan mengiringinya. Paling tidak, akan ada situasi bagaimana pemerintahan dan kabinet dibawah kepemimpinan Prabowo-Gibran nanti akan dibentuk dan dibuat? Apakah selain menggandeng partai-partai pengusung Paslon Nomor Urut 2 dalam menyusun kabinet nanti, juga akan benar-benar merangkul partai-partai dari pengusung Paslon yang kalah? Apakah partai-partai pengusung Paslon yang kalah akan mengambil posisi sebagai oposisi terhadap pemerintahan yang baru atau tidak? Sejauhmana pemerintahan yang baru akan bekerja dalam 100 hari pertama dalam mewujudkan visi, misi dan program kerjanya? Lantas, bagaimana posisi dan sikap yang harus diambil oleh kalangan civil society dalam menyikapi pemerintahan baru nanti? Dan, bagaimana kira-kira masa depan demokrasi di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran mendatang? Serta masih banyak pertanyaan-pertanyaan berikutnya dari publik.
Realitas perilaku elite rezim menjelang Pemilu 2024, membuat kalangan civil society menyadari akan kondisi konsolidasi demokratis belum terwujud sehingga sewaktu-waktu rezim bisa berbalik arah 180 derajat. Untuk itu, perlu didorong munculnya transformasi politik untuk membantu membongkar sistem yang oligarkis, menguatkan peran partai politik, dan pendidikan politik warga serta pendidikan pemilih. Turun gunungnya para guru besar di berbagai kalangan perguruan tinggi akhir-akhir ini mengisyaratkan akan kegelisahan dan kejengahan atas realitas demokrasi yang terjadi.
Penguatan civil society guna memunculkan transformasi politik penting untuk terus digelorakan karena pada satu sisi terkadang para elite sibuk dengan kompromi kepentingan ekonomi-politik mereka sendiri dan dengan mudahnya nanti akan melupakan janji-janji manis kampanye, dan di sisi lain rakyat dihadapkan pada berbagai macam persoalan di segala lini dan bidang yang dialaminya.
Untuk itulah, eksistensi penguatan civil society di negara kita memiliki peran dan posisi penting, khususnya dalam mengakselerasi relasi antara negara dan warga negara. Hubungan yang seimbang, setara, dan saling respek satu dengan yang lain menjadi titik ideal hubungan antara negara dan warga negara. Keberadaan masyarakat sipil menjadi pendulum penting dalam membangun hubungan dengan negara. Hubungan itu tentu tak luput dari pengaruh dinamika dalam penyelenggaraan negara di satu sisi serta dinamika di internal kelompok masyarakat di sisi lain.
Tergerusnya nilai-nilai kemanusiaan dan etika, hukum yang semestinya menjadi pemandu tata kelola hubungan antarmanusia, serta negara dan warga negara, menjadi sekadar teks aturan yang kehilangan ruh moralnya. Di poin inilah, peran penguatan civil society, yang didalamnya terdapat organisasi keagamaan, organisasi profesi, pers, lembaga pendidikan (perguruan tinggi/kampus), organisasi nonpemerintah (NGO) untuk bahu-membahu menjawab tantangan dalam menegakkan nilai kemanusiaan penting untuk terus didengungkan.
Di saat yang bersamaan, civil society juga memerankan kerja advokasi dan negoisasi dengan negara, khususnya yang terkait dalam perumusan kebijakan publik. Sumber daya yang inheren pada civil society, seperti informasi dan pengetahuan, memiliki kemampuan memobilisasi untuk mendorong perubahan kebijakan publik. Peradaban dan keadaban publik harus diperjuangkan bersama oleh negara dan masyarakat sipil.
Konsolidasi Demokrasi
Pasca pemerintahan baru terbentuk, persoalan konsolidasi demokrasi yang masih belum tuntas juga perlu menjadi perhatian kita bersama. Konsolidasi demokrasi ternyata tidak cukup dilakukan hanya dengan pemilu yang bebas dan berjalannya mekanisme pasar, apalagi melihat pelaksanaan Pemilu 2024 ini yang penuh keriuhan. Ada banyak agenda konsolidasi demokrasi untuk tetap terus dijalankan, diantaranya pertama, masyarakat sipil harus diberi ruang untuk bersaing secara sehat dan terbuka untuk menjalankan kontrol kekuasaan.
Kedua, birokrasi harus memiliki pemahaman, mendukung dan melayani masyarakat sipil dalam menjalankan tugas pemerintahan. Ketiga, negara harus memfasilitasi terciptanya masyarakat ekonomi yang menjadi perantara negara dan masyarakat dalam menjalankan perekonomian.
Keempat, negara harus menganut ideologi supremasi hukum di mana negara harus menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu, negara harus mampu memberikan ruang berfungsinya masyarakat sipil. Keberadaan masyarakat sipil yang bebas, aktif, dan mandiri terhadap pemerintah dapat berfungsi sebagai checks and balances.
Selain itu, secara ideal untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, masih diperlukan oposisi yang berada di luar kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang dan ketaatan terhadap konstitusi. Jangan sampai terjadi penyimpangan makna atas politik dari mengelola urusan bersama atau publik menjadi persoalan cara mendapatkan kekuasaan, membagi, dan mempertahankan kekuasaan. Negara seolah berubah hanya menjadi arena bagi elite dan kekuatan yang sadar politik untuk berebut kekuasaan.
Apabila ini terjadi, maka penyimpangan tersebut akhirnya melahirkan masalah yang lebih luas, yaitu sistem pemerintahan, sistem pemilu, hingga transaksi politik yang dianggap lazim dan sah saat pemilu, yang denyut dan nadanya rasa-rasanya bisa kita rasakan dan dengarkan saat ini. Pemerintahan yang baru nanti harus selalu ingat akan mantra derajat kemuliaan suara rakyat dijunjung tinggi setara kuasa Ilahiah. Mantranya, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei). Maka, jangan sekali-sekali mempermainkan Suara Rakyat.