
POJOKKATA.COM, Madiun – Kebijakan penyertaan modal BUMDes sebesar 20% dari dana desa mendapat sorotan tajam dari aktivis dan pengiat desa, Dimyati Dahlan.
Ia menilai bahwa kebijakan tersebut telah melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2019 pada Pasal 100.
Dimyati, yang dikenal sebagai pelopor lahirnya Undang-Undang Desa, mengungkapkan kegelisahannya atas adanya kebijakan lokal yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Pasti ada yang tidak beres. Kebijakan ini jelas menurunkan kesejahteraan aparat desa,” ungkapnya saat dihubungi, menambahkan bahwa peraturan seharusnya justru menciptakan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan aparatnya.
Masalah ini semakin nyata terlihat ketika muncul laporan penurunan penghasilan aparat desa. Dalam salah satu contoh kasus, sebuah desa yang memiliki anggaran belanja sebesar Rp1,5 miliar dan dana desa Rp1 miliar, ternyata harus mengalokasikan 20% atau sekitar Rp200 juta untuk penyertaan modal BUMDes.
Hal ini membuat sisa anggaran belanja desa turun menjadi Rp1,3 miliar, padahal berdasarkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penyertaan modal BUMDes seharusnya masuk kategori pembiayaan, bukan belanja desa.
PP No. 11 Tahun 2019 Pasal 100 ayat (1) huruf (b) menyatakan bahwa paling banyak 30% dari jumlah anggaran belanja desa digunakan untuk mendanai penghasilan tetap dan tunjangan pejabat desa serta operasional Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Apalagi, pada Pasal 81 disebutkan bahwa besaran penghasilan tetap kepala desa minimal Rp2.426.640, setara 120% dari gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang II/a. Dengan jumlah 14 perangkat desa dan kepala desa dalam satu tahun, kebutuhan untuk penghasilan tetap diperkirakan mencapai Rp405 juta.
Padahal, jika 30% anggaran belanja desa hanya mencapai Rp390 juta, maka anggaran tersebut dinilai tidak mencukupi untuk membayar siltap dan tunjangan bagi perangkat desa.
Dimyati menegaskan, “Ini sudah melanggar PP 11 Tahun 2019 Pasal 100. Bagaimana nasib BPD, tunjangan kepala desa dan perangkat desa ke depannya? Kebijakan daerah yang diterapkan oleh Dinas dan Camat justru menyesatkan, tidak ada aturan perundang-undangan yang dibuat untuk menyengsarakan dan menurunkan kesejahteraan. Maka, enam bulan ke depan BPD dan perangkat desa tidak akan menerima tunjangan lagi.”
Ia menambahkan bahwa kepala desa dan BPD perlu segera melakukan perhitungan ulang apakah siltap dan tunjangan tersebut telah melanggar aturan yang ada.
Kekhawatiran Dimyati ini mencerminkan keresahan para pihak yang memahami pentingnya pengelolaan keuangan desa yang transparan dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Sementara itu, sejumlah praktisi dan aparat desa diharapkan segera memberikan klarifikasi dan evaluasi terhadap mekanisme penyaluran dana desa demi kesejahteraan bersama. (*)