POJOKKATA.COM, Magetan – Kasus sengketa antara Bitner Sianturi, pemilik warung di Magetan, dengan beberapa pedagang sayur dalam sidang mediasi yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Magetan, Rabu (5/2/2025) kemaren, belum menemui titik temu.
Usai sidang tersebut, Bitner menegaskan bahwa permasalahan yang terjadi sebenarnya sederhana, namun telah dipelintir oleh pihak yang menuduh dirinya melarang pedagang.
Bitner dengan tegas mengungkapkan bahwa ia tidak pernah melarang pedagang untuk berjualan di sekitar warungnya. “Isu yang beredar mengatakan saya melarang pedagang itu sama sekali tidak benar. Itu tertulis dan ada buktinya,” katanya. Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘melarang’ adalah dua pedagang yang menggunakan kendaraan pickup, yang menurutnya mengganggu kenyamanan warga karena berjualan terlalu lama di sekitar pesu (pasar desa).
“Pedagang lain yang menggunakan sepeda motor masih bisa dipahami, tetapi yang menggunakan pickup itu sudah melampaui batas. Mereka berjualan dari pagi hingga siang hari, sementara pedagang lain hanya beberapa jam saja,” lanjutnya.
Bitner juga menanggapi tuduhan yang menyebutkan dirinya meminta uang retribusi atau bahkan melakukan tindakan kekerasan terhadap pedagang. Ia merasa difitnah dengan tuduhan tersebut. “Saya tidak pernah melakukan itu. Saya hanya meminta agar aturan yang disepakati pada tahun 2022 tentang waktu berdagang di pesu dihormati,” jelasnya.
Sebagai tambahan, ia menegaskan bahwa kebijakan yang disepakati pada tahun 2022 menyatakan bahwa pedagang diperbolehkan berdagang, tetapi tidak boleh mengganggu kenyamanan warga, tidak boleh berlama-lama di area yang sama, dan harus menjaga etika dalam berjualan. Bitner merasa langkah tersebut untuk menjaga keseimbangan antara pedagang dan pemilik usaha lainnya.
“Kalau saya tidak menginginkan keributan, saya pasti sudah melapor ke polisi. Tetapi saya tidak ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara kekerasan. Ini masalah yang harus diselesaikan dengan cara yang benar dan sesuai hukum,” tambahnya.
Bitner juga mengungkapkan dampak besar yang ia alami akibat masalah ini. Selama lima tahun, ia mengklaim mengalami kerugian materiil yang cukup besar, dengan kerugian mencapai Rp2.000 hingga Rp3.000 per hari.
“Selama lima tahun, saya mengalami kerugian yang sangat besar. Rumah saya bahkan hampir disita. Itu sangat berat bagi saya,” ujar Bitner sambil menunjukkan data yang ia miliki sebagai bukti.
Ia juga menyinggung masalah sosial dan ekonomi yang timbul akibat ketidakjelasan aturan mengenai berdagang di pesu.
“Seharusnya pemerintah desa lebih peka terhadap masalah ini. Pedagang harus diberdayakan, bukan dibiarkan mengganggu kehidupan warga yang sudah memiliki usaha,” tegasnya.
Sementara itu, pihak pengadilan memberikan waktu untuk melakukan mediasi lebih lanjut. (Gal/PK)