Meluruskan Stigma Gemblak yang Membayangi Penari Jathil

0

POJOKKATA.COM, Ponorogo – Nama besar Reog Ponorogo lekat dengan berbagai cerita, termasuk stigma yang menempel pada sosok gemblak. Anggota DPRD Ponorogo, Agung Priyanto, angkat bicara untuk meluruskan pandangan keliru yang selama ini melekat, terutama terhadap penari jathil laki-laki.

“Saya dulu penari jathil lanang, tapi bukan gemblak,” tegas Agung yang akrab disapa Agung Krewek itu. Politikus PDI Perjuangan tersebut menilai, anggapan jathil identik dengan gemblak adalah salah kaprah yang berkembang di masyarakat.

Menurutnya, gemblak sejatinya adalah anak asuh warok. Umumnya, mereka berasal dari keluarga kurang mampu dan mendapat biaya hidup serta fasilitas dari sang warok. Sebagai konsekuensi, gemblak wajib menari jathil dalam pertunjukan reog.

“Gemblak itu ibarat buruh yang harus taat pada majikan. Kalau sudah satu-dua tahun, biasanya malah diberi hadiah pedhet (anak sapi),” jelasnya.

Namun, narasi yang berkembang di masyarakat berbeda. Gemblak dianggap sebagai pasangan seorang warok, bahkan dituding terjadi hubungan sesama jenis. Stigma itu merembet hingga penari jathil laki-laki ikut dikaitkan. “Saya dulu pernah diperlakukan tidak enak, sampai dicium penonton karena tuduhan semacam itu,” kenang Agung.

Seiring perjalanan waktu, perubahan dalam seni pertunjukan reog turut mengikis stigma tersebut. Hadirnya penari jathil perempuan membuat jathil lanang semakin jarang ditemui. Begitu juga format pertunjukan yang kini lebih besar ala festival. “Kalau dulu tahun 1980-an, formasi hanya satu pembarong, dua jathil, satu bujangganong, selebihnya pengrawit dan senggak,” jelasnya.

Tak hanya penari, barongan pun ikut bertransformasi. Rambut dadak merak yang dulu disasak kini bisa direbonding. Ukuran dadak merak semakin besar dan tinggi. Bahan kulit yang semula asli harimau pun diganti olahan kulit sapi. “Reog tetap berkembang tanpa kehilangan jati dirinya,” ujar Agung.

Baginya, Reog Ponorogo adalah identitas masyarakat bumi reyog. Apalagi, UNESCO telah menetapkannya sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB). “Reog kini terbebas dari narasi negatif, seperti identik dengan minuman keras atau stigma gemblak,” tegas Agung.

Meski pernah merasakan pahitnya tuduhan, Agung Krewek tetap bangga pernah menjadi penari jathil. Niatnya murni untuk berkesenian. Kini, anak perempuannya menekuni jathil, sementara anak laki-lakinya menjadi pembarong cilik.

“Saya juga pernah membawa nama Kecamatan Babadan dalam festival reog dan meraih juara dua,” pungkasnya. (Gal/PK)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini