Oleh : Muries Subiyantoro, Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi, dan Penggagas LoGoPoRI (Local Government and Political Research Institute) Magetan
“…Ku lihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati, air matanya berlinang, mas intannya terkenang…”, inilah lagu Ibu Pertiwi yang ditulis oleh Ismail Marzuki dan disusun oleh komposer Kamsidi Samsuddin sekitar tahun 1908. Syair dan lirik lagu ini sekiranya pantas untuk mewakili situasi batin kebangsaan kita saat ini, yang mulai merintih dan berdoa.
Kondisi kebangsaan kita hari-hari ini, jika kita mau berintrospeksi diri sebenarnya dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak problem, situasi, suasana, keadaan dan berbagai peristiwa yang mengusik hati nurani kita sebagai anak negeri. Rakyat dipertontonkan dengan perilaku-perilaku elite dan penguasa yang seharusnya bisa menjadi panutan bersama.
Alih-alih mereka memberikan suri tauladan dan pendidikan budi pekerti yang baik kepada publik, tetapi justru perilaku kontra-produktif dan bahkan melanggar batas-batas norma dan hukum yang dipertunjukkan, publik tentunya masih ingat pada bulan Nopember lalu keluar Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 02/MKMK/L/11/2023 yang memutuskan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (Hakim Terlapor) melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Alhasil MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.
Tidak berselang lama atas Putusan MKMK, pada bulan Desember publik kembali tercengang dengan pemberitaan atas putusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menyatakan Komisioner nonaktif KPK Komjen Pol (Purn) Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku terkait pertemuan dengan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan sejumlah perkara lainnya. Firli Bahuri terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku dan telah melanggar Pasal 4 ayat (2) huruf a atau Pasal 4 ayat (1) huruf j dan Pasal 8 ayat e Peraturan Dewas KPK Nomor 3 Tahun 2022 dan dijatuhi sanksi berat berupa diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK.
Tidak berhenti sampai disini, beberapa hari lalu publik juga disuguhkan berita dan informasi tentang Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memutuskan bahwa Ketua KPU RI dan sejumlah anggota KPU RI melanggar etik. DKPP menyatakan bahwa Ketua RI dan enam anggota KPU RI telah melanggar sejumlah pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu.
Adapun pasal-pasal yang dilanggar tersebut adalah Pasal 11 huruf a dan huruf c, Pasal 15 huruf c, dan Pasal 19 huruf a.
Berbagai macam peristiwa pelanggaran etik ini tidak hanya terjadi di level nasional, tetapi juga sudah merambah ke level regional dan lokal. Sebagai contoh, pada Nopember lalu salah satu Komisioner Bawaslu Kota Medan yang baru dilantik pada bulan Agustus lalu terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Tim Opsnal Kelompok Kerja Penindakan Saber Pungli Provinsi Sumut di salah satu hotel di Kota Medan bersama dua orang lainnya. Ketiganya tertangkap tangan saat menerima uang atas dugaan pemerasan dari salah seorang calon anggota legislatif Kota Medan. Pada bulan Januari lalu, salah satu Komisioner KPU Padangsidimpuan Sumatera Utara juga terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) karena memeras seorang calon legislatif. Modus yang digunakan adalah memeras korban dengan modus jual beli suara.
Degradasi Moral dan Etika Politik
Berbagai macam peristiwa pelanggaran etik dan bahkan perilaku menabrak batas norma dan hukum yang berlaku seperti contoh di atas, membuat keprihatinan kita bersama. Pertanyaannya adalah, mengapa berbagai macam peristiwa itu bisa terjadi? Apa ada yang salah di negeri ini? Lalu, bagaimana mengurangi dan bahkan menghentikan semua ini?
Semua sepakat bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, akan tetapi Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami degradasi moral dan etika politik yang sungguh luar biasa. Saat ini tantangan yang ada adalah pada demoralisasi masyarakat dan bangsa, khususnya dalam masalah politik. Masalah moral dan etika politik semakin hari semakin tidak bagus.
Diksi politik kurang apik cenderung dipertontonkan dan disuguhkan oleh kaum elite kepada rakyatnya saat ini. Fenomena kompetisi demokrasi elektoral yang tidak produktif dan jauh dari narasi konstruktif, padahal pertarungan politik demokratis yang berkualitas juga mensyaratkan keadaban politik, baik dalam diksi maupun narasi di arena kompetisi.
Realitas politik yang ada saat ini justru membuat kondisi menjadi semakin runyam, munculnya kecurangan, korupsi, black campaign, melakukan politik uang, dan lain-lain. Maraknya politikus yang berperilaku tercela dan cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih ataupun mempertahankan kekuasaan membuat banyak dari masyarakat yang beranggapan bahwa politik itu kotor, rusak, dan menjijikkan.
Perilaku yang ditampilkan (oknum) para politisi tidak mencerminkan politik ideal, serta tujuan politik yang mulia, yakni menyejahterakan masyarakat.
Sejatinya, politik merupakan seni dengan berbagai strategi untuk meraih ataupun mempertahankan kekuasaan untuk bisa mempengaruhi orang lain dan sekumpulan orang. Strategi yang dipakai dalam berpolitik seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang sehat serta menawarkan ide-ide, gagasan, dan program yang baik supaya politik tidak dinilai buruk, dan masyarakat tidak takut ataupun skeptis.
Mengembalikan Marwah Politik Bertolt Brecht seorang tokoh politik dunia pernah mengatakan: “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada putusan politik. Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dada seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negri”.
Dari pernyataan Bertolt Brecht diatas, bisa kita maknai bahwa politik itu penting, politik itu suci, dan politik itu sakral. Bahkan, Bung Karno pernah menyatakan: “Bila mengusir penjajah, mempertahankan kemerdekaan, dan mengisi kemerdekaan itu adalah politik, politik itu suci”. Kesucian politik terletak pada motif dan tindakan perjuangannya. Ada nilai positif kebangsaan yang harus terus diperjuangkan secara politik yang menjadikan politik itu suci.
Politik itu merupakan hal yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir segala aspek kehidupan manusia di dalam suatu negara diatur oleh keputusan politik. Sehingga masyarakat harus melek terhadap kondisi politik karena arah perkembangan politik ditentukan oleh masyarakat, apabila masyarakat abai terhadap politik, maka penyimpangan kekuasaan bisa terjadi, dan sebaliknya.
Apa yang diperlihatkan politikus dan perjalanan bangsa hari ini harus menjadi refleksi bersama. Jika kehidupan politik kita hari ini bisa saling merefleksi, konflik politik, perjalanan bangsa, dan fenomena yang tidak produktif pun akan bisa dihindari. Tak terkecuali, dengan fenomena sivitas akademika menanggapi kondisi demokrasi di Indonesia yang tengah terjadi di sejumlah kampus besar. Menurut penulis, gerakan tersebut sebagai gerakan moral elemen sivitas akademika sebagai ikhtiar mengingatkan elite dan penguasa.
Kehadiran masyarakat kampus diperlukan untuk meluruskan hal-hal yang tidak sejalan dengan semangat reformasi. Asalkan, jangan sampai gerakan-gerakan moral yang dilakukan justru mengarah pada dukungan terhadap pihak tertentu. Yang disuarakan elemen sivitas akademika adalah menunjukkan kembali kompas jalan demokrasi sebagaimana amanat reformasi, termasuk melalui gerakan politik bersih dan mewujudkan pemilu bermartabat.
Penulis menjadi ingat kata-kata ahli hukum Unair Surabaya, Prof. J.E. Sahetapy yang menyatakan:
“Politik tidak kotor yang kotor adalah manusia-manusia yang tidak bermoral dan tidak mempunyai hati nurani”. Oleh sebab itu seperti syair lagu Nyanyian Jiwa-nya Swami, maka “Nyanyian Jiwa Haruslah Dijaga, Mata Hati Haruslah Diasah”. Semoga!