Reog Ponorogo: Antara Hiburan dan Kritik Terhadap Majapahit

0

POJOKKATA.COM, Ponorogo – Ponorogo, sebuah kabupaten di Jawa Timur, dikenal dengan seni tradisi Reog Ponorogo yang tidak hanya sebagai hiburan rakyat, tetapi juga menyimpan unsur magis yang kuat dan sejarah panjang.

Reog Ponorogo, dengan berbagai elemen seperti warok, barongan, dadak merak, jathil, dan bujang ganong, memiliki asal-usul yang menarik dan penuh makna.

Dalam Buku Antologi Cerita Rakyat Jawa Timur yang disusun Balai Bahasa Surabaya pada 2011, Sumono Sandy menjelaskan bahwa Reog Ponorogo sudah ada sejak zaman Majapahit.

Menurut Sandy, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Raja Bre Kertabumi. Keadaan ini semakin parah karena Bre Kertabumi terlalu tunduk kepada permaisurinya yang cantik, menyebabkan kegelisahan di kalangan para pembantunya, termasuk Ki Ageng Ketut Suryo Alam.

Ki Ageng Ketut Suryo Alam, seorang penasihat yang merasa kehadirannya tidak lagi berguna, memutuskan untuk meninggalkan istana dan mendirikan padepokan di Desa Kutu. Di sana, ia mengajarkan ilmu kanuragan dan kesaktian kepada murid-muridnya dengan prinsip ketaatan kepada kerajaan dan larangan berhubungan dengan wanita demi menjaga kesaktian. Kesuksesan padepokannya membuat Ki Ageng Ketut Suryo Alam lebih dikenal sebagai Ki Ageng Kutu.

Meskipun telah meninggalkan istana, Ki Ageng Kutu terus memikirkan kondisi Majapahit. Menyadari bahwa perlawanan fisik hanya akan membawa penderitaan, ia memilih untuk melawan secara psikologis melalui kesenian. Dengan pengalaman dan keahliannya, ia menciptakan drama tari Reog yang digunakan untuk menggambarkan keadaan kerajaan Majapahit sebagai bentuk sindiran dan kritik.

Dalam drama tari Reog, tokoh warok yang diperankan oleh Ki Ageng Kutu menggambarkan peranan penting sesepuh dalam tata pemerintahan. Singo barong yang mengenakan bulu merak di atas kepalanya menyindir kecongkakan raja yang tidak mau mendengarkan nasihat. Penari kuda atau jathilan yang diperankan pria berdandan wanita menggambarkan hilangnya sifat keprajuritan dan ketidakjelasan peranan prajurit kerajaan.

Reog Ponorogo bukan sekadar seni pertunjukan, tetapi juga simbol kritik terhadap kemunduran moral dan politik Majapahit. Kesenian ini tidak hanya menjadi warisan budaya yang kaya akan makna, tetapi juga menjadi pengingat pentingnya mendengarkan nasihat bijak dalam pemerintahan. Reog Ponorogo, dengan segala keunikan dan pesan tersiratnya, terus hidup dan berkembang di tengah masyarakat, menjadi saksi bisu sejarah dan kebijaksanaan leluhur.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini