Oleh: Diana Sasa (Mahasiswa Pasca Sarjana, Prodi Ketahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada).
Pilkada serentak tinggal hitungan hari. Bagi sebagian wilayah, ini hanya agenda rutin, tapi bagi Magetan, ini adalah pertarungan generasi. Bukan sekadar siapa yang lebih tua atau lebih muda, tapi siapa yang peka membaca peluang bonus demografi. Bonus demografi ibarat sebuah ledakan tak kasat mata, dengan dampaknya yang bisa terasa, bahkan dalam pemilu lokal. Dalam bahasa yang lebih sederhana, bonus demografi adalah saat di mana mayoritas penduduk berada pada usia produktif, yakni usia yang menjadi tenaga penggerak ekonomi.
Mari kita bicara data. Data yang memotret realitas pemilih di Magetan ini bukan sekadar angka kaku. Ia berbicara, dengan suaranya sendiri, tentang siapa yang akan berperan besar dalam Pilkada 2024. Dari total 530.630 pemilih, hampir 99.469 jiwa adalah anak-anak muda usia 17-27 tahun. Lalu, ada 145.767 orang di rentang usia 28-43 tahun, generasi yang berada di puncak produktivitas. Tak berhenti di situ, angka terbesar muncul dari kelompok 44-59 tahun dengan 155.654 pemilih, generasi yang mungkin masih ingat pembangunan Orde Baru tapi kini menuntut sesuatu yang lebih modern dan digital.
Usia-usia ini—75% dari total pemilih—bukan sekadar data statistik. Mereka adalah mesin utama yang akan mendorong ekonomi, kebijakan, dan tentu saja politik. Generasi ini tidak lagi bisa hanya diberi janji kosong atau program-program yang terasa basi. Mereka haus akan perubahan nyata. Sementara itu, di ujung spektrum, ada 111.680 jiwa di usia 60-78 tahun, dan 17.880 orang di atas 78 tahun. Angka ini kecil, tetapi jangan salah, mereka adalah suara yang memilih stabilitas, suara yang tidak mau diombang-ambing oleh janji tanpa bukti.
Data ini memperlihatkan bahwa pemilih usia produktif, yang paling terpapar perubahan zaman, adalah yang paling menentukan di Pilkada kali ini.
Kandidat: Pertarungan Antara Tua dan Muda
Di sudut pertama, ada pasangan Nanik Endang Rusminiarti (65 tahun) – Suyatni Priasmoro (55 tahun), yang mungkin akrab di telinga generasi lebih tua. Pasangan nomor urut 1 ini menawarkan pengalaman. Bagi mereka yang sudah lama berkecimpung dalam birokrasi, pemimpin yang berpengalaman adalah harapan akan stabilitas. Tapi, apakah itu cukup untuk menggerakkan massa muda? Inilah tantangan bagi Nanik-Suyatni. Mereka perlu membuktikan bahwa pengalaman tidak harus berbanding lurus dengan stagnasi.
Lalu, di sudut lain, ada pasangan Ir. Hergunadi (60 tahun) – Basuki Babussalam (51 tahun). Pasangan nomor urut 2 ini berada di posisi tengah-tengah. Usia mereka berada di antara pengalaman dan harapan regenerasi. Dalam banyak pemilu lokal, kandidat seperti ini seringkali mencoba bermain aman: menawarkan sesuatu yang baru, tetapi tetap mengedepankan stabilitas yang dihargai oleh pemilih senior. Hanya saja, apakah ini cukup menggoda bagi mereka yang berharap akan perubahan radikal?
Dan terakhir, di sudut yang lebih muda, ada pasangan Sujatno (54 tahun) – Ida Yuhana Ulfa (42 tahun). Di antara tiga pasangan ini, pasangan nomor urut 3 terlihat paling siap untuk memikat pemilih muda. Ida Yuhana Ulfa, dengan usianya yang lebih muda, bisa menjadi magnet bagi generasi milenial dan gen Z yang mendambakan pemimpin yang lebih segar. Mereka bukan sekadar pemilih, tetapi bagian dari bonus demografi yang menginginkan masa depan yang lebih terjamin melalui perubahan yang konkret.
Bonus Demografi: Potensi dan Risiko
Mendengar “bonus demografi,” kita sering membayangkan masa keemasan ketika mayoritas penduduk bekerja, dan ekonomi negara berkembang pesat. Namun, ini tidak otomatis terjadi. Bonus demografi bisa menjadi berkat atau kutukan, tergantung bagaimana pemerintah dan pemimpin yang terpilih kelak mengelola peluang ini. Di sinilah relevansi Pilkada Magetan semakin nyata. Pemimpin yang terpilih di Magetan harus menyadari bahwa pemilih muda adalah kelompok yang haus akan perubahan cepat, mereka lebih kritis dan lebih peka terhadap isu-isu kontemporer seperti ekonomi digital, akses pendidikan, dan lapangan kerja.
Generasi muda hari ini tidak lagi bisa direduksi menjadi sekadar angka statistik. Mereka adalah massa yang terkoneksi secara digital, dengan tuntutan yang tinggi terhadap pelayanan publik dan transparansi. Inilah yang menjadi PR berat bagi para kandidat yang mungkin selama ini berfokus pada isu-isu konvensional seperti infrastruktur fisik. Para pemilih muda ini ingin lebih dari sekadar jalan aspal yang mulus; mereka menuntut akses internet cepat, kesempatan kerja di sektor kreatif, dan kebijakan yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup yang berkelanjutan.
Usia Kandidat vs. Pemilih: Tarik-Menarik Relevansi
Jika kita mencoba menarik benang merah antara usia kandidat dan harapan pemilih muda, jelas terlihat bahwa pasangan Sujatno-Ida memiliki peluang lebih besar di segmen pemilih usia produktif. Dengan usia Ida Yuhana Ulfa yang masih 42 tahun, dia dapat dengan mudah berbicara dengan bahasa anak muda. Bukan hanya dari segi retorika, tapi juga dalam bentuk kebijakan yang lebih responsif terhadap perkembangan zaman. Pasangan ini mungkin lebih leluasa menggunakan media sosial sebagai platform kampanye utama, membahas topik-topik yang dekat dengan pemilih muda, seperti lapangan kerja berbasis digital, pengembangan UMKM, dan isu lingkungan.
Namun, ini bukan berarti pasangan seperti Nanik-Suyatni atau Hergunadi-Basuki tidak memiliki peluang. Mereka bisa menarik pemilih senior yang lebih suka dengan program-program pembangunan yang lebih tradisional dan berorientasi pada pengalaman. Bagi generasi yang lebih tua, stabilitas adalah kata kunci, dan pengalaman di bidang pemerintahan menjadi faktor yang sangat penting. Pasangan Nanik-Suyatni, misalnya, dapat memanfaatkan nostalgia untuk mendapatkan suara dari kalangan yang lebih konservatif.
Pilkada sebagai Perang Generasi
Pilkada Magetan 2024 adalah pertarungan antar-generasi. Ini bukan lagi soal siapa yang lebih muda atau lebih tua, tapi siapa yang bisa merangkul dua sisi yang berbeda ini. Bagaimana seorang kandidat mampu merangkul aspirasi pemilih muda tanpa melupakan pemilih yang lebih senior akan menjadi kunci keberhasilan. Karena, seperti kita tahu, politik adalah soal persepsi, soal bagaimana para kandidat mampu memoles citra mereka di hadapan rakyat.
Bonus demografi yang sedang dinikmati oleh Magetan bisa menjadi berkah bagi kandidat yang peka. Namun, jika salah kelola, hal ini bisa berbalik menjadi tantangan besar. Jika pemilih muda yang mendominasi merasa diabaikan, mereka mungkin akan bersikap apatis atau memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Sebaliknya, jika kandidat mampu menawarkan visi yang relevan dan konkret, maka bonus demografi ini bisa menjadi penentu hasil Pilkada.
Kesimpulannya, Pilkada Magetan 2024 akan menjadi ajang pertarungan yang menarik antara stabilitas dan regenerasi. Kandidat yang peka terhadap bonus demografi dan mampu merangkul dua generasi pemilih akan memiliki peluang besar untuk memenangkan kursi kepemimpinan. Tepat seperti yang disampaikan oleh para ahli demografi: bonus demografi adalah kesempatan yang tidak datang dua kali—dan Pilkada Magetan adalah panggung untuk membuktikan siapa yang paling siap menangkapnya.(*)