POJOKKATA.COM, Ponorogo – Ratusan warga Desa Temon, Kecamatan Ngrayun, Ponorogo, menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor desa pada Kamis (13/2/2025).
Mereka menuntut transparansi dalam pengelolaan dana desa dan mendesak kepala desa serta perangkat yang terlibat dalam dugaan penyalahgunaan anggaran untuk mundur dari jabatannya.
Aksi yang diikuti oleh berbagai kalangan, mulai dari pemuda hingga emak-emak, berlangsung dengan suasana yang penuh emosi. Massa membawa berbagai poster bertuliskan kecaman keras seperti “Tikus kantor waktunya nyonyor”, “Desa ini darurat keuangan”, serta “Buka laporan keuangan desa”.
Mereka juga membawa replika tikus dan keranda mayat yang dibakar sebagai simbol protes atas dugaan korupsi yang mereka tuduhkan.
Koordinator aksi, Arip Santoso, menegaskan bahwa demonstrasi ini merupakan puncak dari ketidakpercayaan warga terhadap kepemimpinan kepala desa.
“Selama ini kami sudah mencoba berkomunikasi dengan pihak desa untuk meminta kejelasan terkait anggaran, tapi selalu berbelit-belit. Warga semakin muak karena tidak ada perubahan, justru makin buruk,” ujar Arip dalam orasinya.
Warga menyoroti sejumlah program desa yang dibiayai dana desa, namun terhambat atau mangkrak tanpa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Kecewa dan merasa dibohongi, mereka memilih turun ke jalan sebagai bentuk perlawanan terhadap dugaan penyimpangan yang terjadi.
Untuk mengantisipasi kericuhan, pihak kepolisian mengerahkan ratusan aparat keamanan.
Meskipun suasana cukup panas, aksi tetap berlangsung tertib dan tidak ada insiden anarkis yang terjadi.
Setelah berorasi, perwakilan warga diterima oleh pihak kecamatan dalam forum mediasi yang dipimpin oleh Camat Ngrayun, Bambang Sucipto. Dalam pertemuan tersebut, warga menyampaikan dua tuntutan utama: pertama, keterbukaan laporan keuangan desa, dan kedua, pencopotan kepala desa serta perangkat yang terlibat dalam dugaan penyalahgunaan dana desa.
Namun, mediasi antara perwakilan warga dan pemerintah desa, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD), berlangsung tegang dan memakan waktu lama. Sementara itu, di luar balai desa, ketegangan semakin meningkat. Teriakan “Balekno duite, gek ndang mundur!” yang berarti “Kembalikan uangnya, segera mundur!” terus menggema.
Koordinator aksi, Arip Santoso, menegaskan bahwa mediasi ini adalah kesempatan terakhir bagi pemerintah desa untuk menjelaskan secara transparan pengelolaan anggaran.
“Warga sudah lama menahan diri. Berkali-kali kami meminta penjelasan, tapi selalu berbelit-belit. Sekarang, kami hanya ingin satu hal: kejelasan atau kepala desa harus mundur,” tegasnya.
Masyarakat merasa kecewa dengan beberapa program desa yang dibiayai dana desa namun terhenti tanpa hasil yang jelas. Mereka menduga adanya penyelewengan dana yang mengakibatkan terhentinya proyek-proyek penting bagi kesejahteraan warga.
Hingga siang hari, belum ada keputusan konkret dari hasil mediasi yang berlangsung panjang. Meskipun demikian, warga akhirnya membubarkan diri dengan tertib setelah perwakilan kecamatan berjanji akan menindaklanjuti aspirasi mereka. (Gal/PK)